Polda Kepulauan Riau bersama Forum Koordinasi Perangkat Daerah (FKPD) akan mengubah nama ‘Kampung Aceh’ yang dikenal sebagai kampung narkoba di Kota Batam.

Perubahan nama kampung tersebut disebut untuk mendukung bebas narkoba sejalan dengan program 100 hari Presiden RI Prabowo Subianto.

“Kita sepakat dan komitmen bersama, menjadi Kampung Aceh yang Sehat Madani,” kata Kapolda Kepri Irjen Pol Yan Fitri Halimansyah kepada wartawan, Senin (4/11).

Sebagai informasi, Kampung Aceh di Batam itu berada di lahan dengan luas sekitar 7 hektare.  Sejak 2015 silam, wilayah itu ditempati perantau yang umumnya berasal dari Aceh. Lama kelamaan banyak bangunan rumah liar yang dibangun sehingga banyak yang tempati dari warga lain yang juga bukan dari Aceh.

Yan Fitri mengatakan kegiatan-kegiatan pertama untuk membersihkan Kampung Aceh dari peredaran Narkoba adalah sosialisasi, bakti sosial, dan pemeriksaan kesehatan. Setelah itu, aparat akan melakukan pendataan masyarakat di kampung Aceh, termasuk menyelenggarakan tes urine.

Selain itu, gencar melakukan razia dan mendata secara benar warga yang tinggal di Kampung Aceh melalui perangkat Kelurahan, RT dan RW.

Langkah selanjutnya adalah melakukan  pembinaan dan meningkatkan pengamanan pos terpadu serta melakukan tindakan secara referensif dan melakukan penangkapan dengan tidak memandang dan siapa orangnya.

“Akan petakan secara lengkap di sana, melakukan tindakan secara referensif, kita akan lakukan tindakan-tindakan penangkapan, tidak melihat siapa lagi di sana ada,” ujar Yan Fitri.

Mengutip dari Antara, Kampung Aceh berada di Kelurahan Mukakuning, Kota Batam  dihuni secara ilegal (liar) oleh masyarakat yang berjumlah hampir 1.000 jiwa.

Pihak BP Batam telah memberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada tiga perusahaan yang sejak 2015 belum dimanfaatkan sehingga ditempati masyarakat secara ilegal.

Ketua DPRD Kepri Imam Sutiawan menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi anak-anak di Kepri khususnya di wilayah pulau, yang banyak terlibat kasus narkoba baik sebagai pemakai maupun pengedar.

Imam mendukung langkah bersama mewujudkan kampung madani dan bersih narkoba di Kota Batam, dan Kepri umumnya, agar image negatif di wilayah tersebut bisa dihapus.

“Tidak hanya Kota Batam, Tanjungpinang, Karimun maupun Anambas juga memprihatinkan peredaran narkobanya. Harapannya dengan misi Astacita ini bisa melindungi generasi kita dari bahaya narkoba,” kata Imam.

Sementara itu, Kajati Kepri Teguh Subroto menyebut sebanyak 75 persen perkara yang yang ditangani pihaknya adalah kasus narkoba.

Pihaknya juga tegas mendukung misi Astacita sesuai perintah Jaksa Agung, dengan memberikan tuntutan berat kepada para pelaku narkoba, mulai dari tuntutan maksimal penjara seumur hidup hingga tuntutan mati.

“Komitmen dari kita semua bekerja sama, dan program ini perlu melibatkan peran aktif masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan lainnya,” kata Teguh.

Usai rakor ini, tim teknis dari masing-masing instansi melakukan rapat teknis untuk membahas langkah-langkah yang disiapkan untuk mewujudkan pencanangan Kampung Aceh sebagai kampung madani dan bebas narkoba.

Sebelumnya Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Marthinus Hukom mengungkapkan terdapat lebih dari 900 kampung narkoba di Indonesia.
“Kampung-kampung narkoba yang BNN identifikasi itu jumlahnya lebih dari 900 kampung, dan kami sedang concern ke situ,” kata Marthinus Hukom dalam konferensi pers pengungkapan kasus narkoba di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (1/11).

Marthinus menjelaskan kampung narkoba muncul karena adanya permasalahan sosial yang dilatarbelakangi ekonomi.

Permasalahan tersebut, kata dia, dimanfaatkan bandar narkoba untuk mencengkeramkan kehidupan warga kampung setempat sehingga bergantung pada bandar untuk bertahan hidup.

Ia menyebut jenis hubungan yang terjadi antara bandar dan masyarakat di kampung narkoba adalah patron-klien serta hubungan inti dan cangkang.

“Patron itu bandarnya, klien adalah masyarakat di situ. Apa yang diperintahkan patron ke klien akan diikuti. Kenapa terjadi? Karena ada hubungan simbiosis mutualisme atau saling memberikan keuntungan,” ucapnya.

Sementara itu, hubungan inti dan cangkang adalah bandar menjadi inti dan masyarakat menjadi cangkang atau yang melindungi.

“Makanya, tidak aneh kalau Polri atau BNN masuk ke kampung situ, dikeroyok,” ujarnya.

Saat ini, pihaknya tengah melakukan berbagai langkah agar dapat memisahkan bandar atau patron dengan kliennya atau masyarakat, salah satunya dengan menangkap bandar yang menguasai suatu kampung narkoba.

Selain itu, pihaknya juga melakukan pendekatan secara sosial, ekonomi, maupun psikologi serta memberikan rehabilitasi kepada para pengguna.